Selasa, 07 Juni 2016

cerpen dimanakah kebahagiaan itu




Dimanakah Kebahagiaan Itu?

“Tuhan.... apakah kebahagiaan itu ada? Kalau memang ada tapi kenapa aku tak pernah merasakannya?”
“Tuhan... apakah tawa itu ada? Kalau ada kenapa aku tak pernah melihatnya?”
“Tuhan.... apakah sayang itu ada? Kalau memang ada tapi kenapa aku tak pernah mendapatkannya?” 

Sebut saja namaku Melki atau lebih tepatnya Melki Saputra, tetapi teman-temanku sering memanggilku dengan sebutan Mely atau Melki Saputri. Ya aku seorang cowok, tapi teman-temanku menganggapku layaknya seorang cewek karena pribadiku yang kemayu. Aku ngondek. Aku tidak diterima di lingkunganku aku sering jadi bahan tertawaan, cemoohan, bahkan hinaan. Aku sering di bully di sekolah karena keadaanku ini. Aku bahkan tidak mempunyai kawan karena mereka enggan berteman denganku, mereka malu berteman dengan banci sepertiku. Dan yang mau menerima keadaanku adalah cewek. Ya sebagian besar temanku adalah cewek semua, karena aku tidak punya pilihan, merekalah yang mau menerimaku sebagai temannya, merekalah yang mau menganggapku ada dan merekalah yang mau menghargaiku.
Aku beda dengan cowok-cowok yang lain, disaat semua cowok menyukai permainan sepak bola aku lebih suka bermain boneka, disaat cowok-cowok suka berenang aku lebih suka bermain karet bersama teman-teman cewekku. Aku tidak tau apa yang terjadi pada diriku, aku lebih feminim dari yang lain, aku lebih lemah dibandingkan dengan cowok-cowok yang lain. Bahkan aku sempat berfikir untuk berubah, aku ingin menjadi cowok seutuhnya, aku pernah mencoba hal-hal yang disukai oleh cowok, contohnya permainan sepak bola, namun semua itu sia-sia, aku bahkan di bully habis-habisan oleh teman-teman cowokku, mereka menertawaiku, mereka menertawai gaya berlariku, karena gaya berlariku persis sama seperti cewek. Dan aku juga malu pada saat guru agama memberikan materi tentang laki-laki tidak boleh menyerupai perempuan.
“Nah dari HR. Al-Bukhari, bahwa Rasulullah S.A.W, melaknat laki-laki menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” kata guru yang sedang asyik menerangkan di depan.
“Dengar itu mel” kata hendra  yang duduk di belakangku.
Hendra mengatakan itu tidak dengan suara yang pelan, namun ia mengatakan itu dengan suara yang bisa didengar oleh seisi kelas. Dan sontak seisi kelas tertawa, aku tertunduk lesu menahan malu, namun aku selalu ingat kata-kata nenek. “kalau seseorang menertawakanmu, maka diamlah biar tuhan yang membalasnya.” Aku sudah biasa dengan hinaan seperti itu, bahkan hinaan itu selalu ku dengar hampir tiap hari, dan aku hanya bisa diam. Karena aku tidak ingin bermasalah disekolah, aku tidak ingin dikeluarkan dari sekolah.
Walaupun pribadiku seperti ini, tapi aku selalu dekat dengan tuhan. Aku tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Aku bahkan pintar mengaji, aku pernah menjadi juara dalam berbagai lomba MTQ di desaku. Aku pernah mendapatkan juara pertama tingkat provinsi untuk cabang tilawah tingkat remaja, aku bangga dengan prestasiku. Namun tidak dengan kedua orang tuaku mereka bahkan tak pernah menggap aku sebagai anaknya, mereka selalu membangga-banggakan adik perempuanku andini, ia sangat pintar bahkan ia selalu jadi juara kelas di sekolahnya. Dan orang tuaku menghargai prestasinya itu, mereka selalu memberikan hadiah disaat andini mendapatkan rangking pertama, beda halnya denganku, prestasiku tak pernah ditanya oleh orang tuaku, akupun tak pernah mendapatkan hadiah dari kedua orang tuaku, disaat ulang tahunpun mereka tidak pernah merayakannya, sedangkan adikku andini sudah beberapa kali merayakan ulang tahunnya dan aku sangat iri padanya.
Hanya nenekku yang selalu bangga denganku, ia bahkan selalu hadir disaat aku mengikuti berbagai ajang lomba, jangan tanya orang tuaku, mereka enggan untuk hadir.  Aku tak tahu apakah mereka malu punya anak sepertiku, apakah mereka malu punya anak bencong seperti diriku. Seandainya aku dapat memilih, aku tidak mau dilahirkan seperti ini, aku ingin dilahirkan seperti cowok-cowok pada umumnya.
Dulu waktu aku masih duduk di sekolah dasar. Aku pernah dipukuli pake ikat pinggang oleh ayahku, karena pada saat itu, aku bermain boneka dengan teman-teman cewekku. Ayahku lalu menarik tanganku secara paksa, dan membawaku pulang, sesampainya dirumah aku dipukuli habis-habisan, beberapa kali aku meringis kesakitan dan memohon ampun, namun ayahku enggan untuk berhenti, ia sedang bernafsu untuk terus memukuliku. Aktivitasnya terhenti di saat nenek melerainya. Nenek memarahi ayahku, hingga ayahku pun menghentikan aktivitasnya. Dan pada saat itu nenek memeriksa punggungku, punggungku nyaris merah semua dan terasa  sakit bila disentuh. Kemudian nenek  menangis sambil memelukku, pada saat itu aku mulai takut pada ayah. Dan satu-satunya tempat aku mengadu bila dimarahi oleh ayah adalah nenekku, karena neneklah yang mau berpihak padaku.
Dan pada suatu hari saat aku hampir lulus sekolah dasar, nenek meninggal dunia, ia meninggalkanku untuk selamanya, dan pada saat itu aku sangat sedih sekali, aku merasa tidak akan ada lagi orang yang akan melindungiku pada saat ayah memukuliku, tidak akan ada lagi orang yang akan melindungiku pada saat ibu mengomeliku. Aku bahkan tidak punya tempat untuk mengadu lagi pada saat aku di bully oleh teman-temanku di sekolah. Bahkan aku hanya bisa pasrah dengan hidupku kedepan.
4 tahun berlalu hingga sekarang aku tengah duduk di sekolah menengah atas. Aku masih saja di bully oleh teman-temanku. Bahkan aku tidak pernah mendapatkan kebahagiaan di bangku sekolah, aku tidak bisa merasakan indahnya masa sekolah seperti layaknya remaja rasakan. Pernah pada saat mata pelajaran geografi, aku disuruh presentasi kedepan, dan guru geografi itu mengomentari gaya bicaraku.
“kamu jangan seperti cewek, Jadi cowok harus tegas!” ujar guru geografi.
Pada saat itu hatiku teriris, aku sedih, aku sadar dengan kondisiku, namun tidak bisakah guru tersebut mengucapkan kalimat yang lebih lembut lagi. Supaya aku tidak terlalu sakit mendengar kalimatnya. Pada saat itu aku mulai merasakan bahwa hidupku sendiri, tak punya kawan, tak ada yang membela bahkan tak ada yang mau melindungiku.
Di dalam keluarga aku hanyalah dianggap sampah yang tidak berguna, dan satu-satunya orang yang yang masih sayang padaku adalah adikku andini. Ia masih menghargai aku sebagai kakaknya, waktu masih kecil pada saat aku dipukuli ayah ia selalu menangis saat melihatnya, ia tak tega melihat kakaknya dipukuli seperti binatang. Pada saat itu ia masih berumur 7 tahun. Ia sempat mengatakan pada ayah supaya ayah tidak memukuliku lagi.
“Ayah...... jangan pukuli kak melki lagi ya?” ujarnya pada ayah.
Namun ayah selalu menjawab bahwa aku pantas untuk menerima semua itu.
“Kakakmu pantas mendapatkan semua itu. Biar dia kapok. Biar dia gak main boneka-bonekaan lagi. Biar dia sadar bahwa dia adalah cowok.”
***
Seperti biasa hari ini aku berangkat sekolah dengan menggunakan angkot. Ayah enggan mengantarkanku dengan mobilnya yang mewah, ayah hanya mau mengantarkan andini anak kesayangannya. Sedangkan aku disuruhnya untuk menggunakan jasa angkot, aku sudah faham dengan jalan pikiran ayah, mungkin ia malu buat mengantarkanku. Ia malu mempunyai anak bencong sepertiku, ntahlah tapi itu memang kenyataannya.
Aku berjalan menyusuri koridor ingin menuju kelas, namun aku dicegah oleh beberapa teman cowokku. Hendra dan kawan-kawannya. Ya mereka memang sering menggangguku, aku sudah biasa dengan mereka. Mereka sering membully ku tapi aku selalu sabar, aku tidak pernah mau melawan, karena aku tidak ingin mau bermasalah di sekolah. Sekarang mereka menyeret ku menuju toilet, entah apa yang mau mereka perbuat. Aku hanya bisa diam dengan apa yang diperbuatnya aku tidak mampu melawan karena tanganku dipegang oleh kedua temannya, dan tenaga ku tidak cukup kuat untuk melawan. Sekarang mereka melepas semua bajuku, hingga meninggalkan celana boxer ku saja. Mereka tertawa lepas bahkan mereka terlihat senang dengan apa yang telah mereka perbuat terhadapku, setelah itu mereka pergi dengan membawa semua bajuku. Aku hanya bisa duduk dan menangis, mengingat apa yang telah mereka perbuat terhadapku, mereka bahkan tidak punya perasaan kasihan terhadapku.
Sekarang aku hanya bisa duduk di toilet, menunggu semua siswa pulang, dan baru aku bisa pergi dari toilet ini, entah sudah beberapa lama aku berada disini, yang jelas aku sudah sangat lapar, karena dari tadi aku belum sempat makan. Ku dengar bel pulang berbunyi, kupastikan tidak ada orang lagi berada disekolah, setelah itu akupun keluar dan pulang dalam keadaan memakai celana boxer saja. aku pulang dengan perasaan sedih, aku hanya bisa menteskan air mataku. Aku sempat di bilang orang-orang gila karena karena keadaanku yang hanya mengenakan boxer saja.
Sesampainya aku dirumah, aku berlari menuju kamarku, dan kebetulan kedua orang tuaku sedang tidak ada dirumah, aku beruntung karena kalau aku ketahuan dengan ayah atau ibu pasti aku akan dipukuli habis-habisan karena melihat kondisi ku yang seperti ini.
***
Hari ini adikku andini ulang tahun, ulang tahunnya yang ke empat belas, aku berniat untuk membelikannya sebuah hadiah. Aku membelikannya dari hasil tabunganku sendiri, karena kalau aku minta pada ayah ataupun ibu pasti mereka tak pernah mau memberikannya. Aku pecahkan calengan yang bergambar ayam itu dan alhasil tabunganku cukup banyak. Cukup untuk membelikan sebuah hadiah yang disukai oleh andini. Ya andini menyukai boneka, apa lagi boneka itu besar, aku berniat untuk membelikannya sebuah boneka besar. Aku berharap ia akan senang dengan pemberian hadiahku. Jangan tanyakan aku. Aku memang suka boneka, namun semenjak ayah memarahiku waktu aku kecil dulu, aku sudah lama meninggalkan kebiasaanku bermain boneka, bahkan aku tak pernah menyentuhnya, aku takut ayah akan marah.
Aku sedang memilih boneka yang disukai oleh adikku, adikku suka dengan boneka beruang yang berwarna pink, sekian lama aku melihat-lihat akhirnya aku menemukannya. Boneka yang sangat besar, bahkan aku harus memeluknya pada saat aku membawanya. Dan ternyata harganya cukup dengan hasil tabunganku. Kemudian aku membayarnya dan membawa boneka itu pulang, dan tak lupa aku selip sebuah kertas yang bertuliskan “happy birthday adikku tersayang”.
Sesampainya dirumah dan ternyata orang tua ku sedang membahas tentang persiapan ulang tahun buat adikku nanti malam. Mereka kaget melihat aku membawa sebuah boneka yang sangat besar. Lalu pada saat itu aku menyadari bahwa ayah dan ibuku  sedang memelototiku dan aku tahu tatapan itu adalah tatapan marah.
“Lihat pa si melki, dia mulai lagi main boneka!!!” kata mamaku yang mulai marah.
Lalu ayahku langsung memarahiku, ayahku memukuliku lagi dengan ikat pinggangnya, ayahku membuang boneka itu keluar, ayahku bahkan tidak memberikan kesempatanku untuk berbicara, ayahku memukuliku sekeras mungkin, hingga punggungku, tanganku, dan kakiku semuanya merah. Bahkan aku sempat meminta ampun tapi ayahku enggan untuk berhenti hingga ia mengusirku dari rumah.
“pergi kamu dari rumah ini, aku tidak sudi punya anak sepertimu!!!”
Pada saat itu aku pergi dengan perasaan yang amat sangat sedih, aku tak tahu harus kemana, aku tak tahu kemana aku harus mengadu. Aku tak tahu kemana tempat aku berteduh, aku tak tahu kemana malam nanti aku harus tidur.
***
Andini sedang merayakan ulang tahunnya, terlihat banyak sekali para undangan yang datang, andini terlihat senang sekali, namun ia teringat sama kakaknya. Kakaknya tidak pernah menampakkan dirinya dari tadi. Ya andini memang tidak tahu kalau kakaknya sudah di usir oleh ayahnya, karena pada saat itu andini lagi main kerumah temannya.  Lalu andini menanyakan perihal kakaknya pada ayah.
“Ayah, ibu, Kak melki mana?” tanya andini
Terlihat kebimbangan pada ayah dan ibunya untuk memberitahukan pada andini bahwa kakaknya telah di usir.
“kakakmu udah di usir dari rumah, karena dia masih saja bermain boneka” kata ayahku.
“Ayah kok tega mengusir kak melki, bagaimanapun dia, mau dia bencong, banci, atau apalah tapi dia tetap kakak andini, anaknya ayah dan ibu!!.”  Kata andini
pada saat itu tidak sengaja andini melihatku yang sedang bersembunyi di pagar taman, karena aku tidak ingin melewatkan hari bahagianya, aku ingin melihat adikku merayakan hari ulang tahunnya, karena takut ketahuan oleh ayah maka aku hanya dapat melihatnya lewat pagar taman.
“Kak melki!!!!” teriaknya.
Akupun berlari keluar karena aku takut ayah akan mengetahuinya, aku takut ayah akan memukuliku lagi, andini terus saja mangejarku hingga, ia tidak sadar bahwa ada mobil yang sedang lewat dengan kencang hingga ia tertabrak dan nyaris membuat ia tak sadarkan diri. Aku mencoba menyadarkannya tapi ia tidak kunjung bangun, hingga akhirnya ibu dan ayah membawanya kerumah sakit.
“awas kalau terjadi apa-apa sama andini, kamu akan menyesal seumur hidupmu” kata ayah terhadapku.
Lalu merekapun pergi dan meninggalkan ku sendiri ditempat ini. aku bahkan tak diajak untuk membawa andini kerumah sakit. Hingga diam-diam aku pergi ke rumah sakit sendiri. Dan akhirnya aku sampai dirumah sakit tempat andini dirawat, aku tidak berani untuk masuk ke kamar andini, aku hanya bisa melihatnya dari balik jendela. Ia baru saja keluar dari kamar ICU, dan aku lihat perban di kening hingga matanya. Aku sempat bertanya pada dokter yang merawatnya, apa yang terjadi dengan matanya dan dokter mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bisa melihat lagi, kecelakaan itu telah membuat ia kehilangan penglihatannya. Aku sempat syock mendengar hal itu, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan.
***
Hari ini aku akan di operasi, aku akan mendonorkan kedua bola mataku terhadap andini, karena aku tak tega melihat adikku tak dapat melihat indahnya dunia. sebelum operasi ku dimulai, aku menulis sebuah surat untuk adikku dan kedua orangtua ku, karena aku akan pergi setelah operasi ini, aku tidak akan menemui mereka lagi karena aku tahu ayah dan ibu tak pernah menyukaiku. Setelah surat ini selesai ku tulis, aku memberikannya pada dokter untuk diberikan pada andini setelah tiga hari pasca operasi, tentunya setelah aku diizinkan keluar dari rumah sakit ini. Dan dokter sudah berjanji terhadapku, bahwa ia tidak akan memberitahu siapa yang akan mendonor matanya untuk andini.
Tiga hari telah berlalu, hingga andini sudah dapat melihat, ia bahkan terlihat sangat senang, kata dokter ia ingin bertemu dengan si pendonor matanya namun aku menolaknya, aku tidak ingin ia tahu bahwa akulah si pendonor itu. Hingga aku diizinkan untuk keluar dari rumah sakit ini, karena kondisiku sudah cukup membaik pasca operasi, namun tidak dengan mataku, semuanya terasa gelap, aku bahkan tidak hapal dengan jalan keluar rumah sakit, karena tak ada seorangpun yang mau membantuku, aku hanya diberikan tongkat sebagai alat untuk membantuku. aku tak tahu telah sampai dimana aku berjalan, aku hanya bisa mendengar suara klakson mobil yang terus bersuara dari arah yang  berlawanan, dan akhirnya tubuhku terasa melayang, aku bagaikan dihantam oleh benda yang sangat kuat, dan nyaris membuat aku tak sadarkan diri.
***
Sesuai dengan janjinya dokter memberikan surat yang aku tulis setelah aku keluar dari rumah sakit itu.
“Seorang pendonor tidak mau bertemu denganmu, namun ia menitipkan sebuah surat untukmu” kata dokter yang merawatnya.
Untuk adikku tersayang:
“gimana dek? Pasti sekarang kamu sudah sembuh ya? Pastinya dong? Anggap aja itu adalah pengganti kado ulang tahun yang pernah dibuang ayah. Kakak udah beli kamu hadiah, tapi ayah membuangnya karena ayah mengira boneka itu milik kakak. Dan sekarang adek gak perlu sedih lagi melihat kakak di pukul ayah, karena kakak akan pergi, kalau bisa kakak ingin menyusul nenek. Ma’af kakak tidak bisa menjagamu seperti layaknya kakak yang menjaga adiknya. Kamu jaga hadiah dari kakak jangan sampai rusak ya?”
Untuk ayahku:
“gmana yah? Ayah bisa tenang kan sekarang? Melki harap bisa, kan melki udah pergi, tidak akan ada lagi anak yang bikin ayah marah, tidak akan ada lagi anak yang bikin ayah malu, ayah tidak perlu capek lagi memukul melki. Suatu saat melki akan kangen dengan ikat pinggang yang pernah ayah pakai untuk memukul melki. Ayah... apakah ayah tahu melki ingin seperti anak yang lain yang selalu diantar oleh ayahnya ke sekolah, tapi ayah malu membawa melki dengan mobil mewah ayah itu, bahkan melki tidak pernah merasakan betapa enaknya naik mobil mewah ayah.”
Untuk ibuku tersayang:
“bu.... melki akan selalu kangen dengan omelan ibu, melki akan selalu kangen dengan masakan ibu. Bahkan melki akan selalu kangen dengan tempe goreng yang pernah ibu masak untuk melki. Melki bahkan tidak pernah merasakan enaknya ayam goreng masakan ibu. Ibu tahu ayam goreng adalah makanan kesukaan melki, namun tiap hari ibu masak tempe goreng untuk melki, hingga tempe goreng menjadi makanan favorite melki. Ibu enggan memasak ayam goreng untuk melki. Ibu hanya membuat secukupnya untuk ayah dan juga andini. Bu... apa ibu tahu aku ingin mencium tangan ibu pada saat hendak pergi ke sekolah. Tapi ibu tak pernah mau di pegang olehku. Aku sedih bu”
Andai kalian tahu bahwa aku tidak pernah membenci kalian semua, aku selalu sayang sama kalian semua. Aku hanya bisa menangis setiap malam dikamarku karena perlakuan kalian terhadapku. apa kalian tahu aku selalu di bully disekolah bahkan tak seorangpun yang mau berpihak padaku. Kini aku akan pergi jauh kalau bisa aku ingin menyusul nenek. Karena neneklah yang mau berpihak padaku.
Melki Saputra
Pada saat itu mereka mulai mencari melki, namun yang mereka temukan adalah jasad melki yang sudah berada dirumah sakit. Mereka bahkan sangat menyesal dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap melki selama ini. dan sekarang melki sudah pergi dengan tenang, ia tidak akan pernah merasakan sakitnya dipukuli oleh ayahnya, ia tidak akan pernah lagi diomeli oleh ibunya, dan ia tidak akan pernah lagi merasakan bagaimana rasanya di bulli oleh teman-temannya. Dan melki sekarang sudah tenang berada di pangkuan neneknya disurga dan sekarang melki hanya tinggal sebuah kenangan.
Tuhan aku ingin merasakan kebahagiaan itu walaupun hanya beberapa menit saja, tapi kenapa engkau enggan memberikannya untukku”

SELESAI




Tidak ada komentar:

Posting Komentar