Dimanakah Kebahagiaan Itu?
“Tuhan.... apakah kebahagiaan itu ada? Kalau memang ada tapi
kenapa aku tak pernah merasakannya?”
“Tuhan... apakah tawa itu ada? Kalau ada kenapa aku tak
pernah melihatnya?”
“Tuhan.... apakah sayang itu ada? Kalau memang ada tapi
kenapa aku tak pernah mendapatkannya?”
Sebut saja namaku Melki atau lebih
tepatnya Melki Saputra, tetapi teman-temanku sering memanggilku dengan sebutan
Mely atau Melki Saputri. Ya aku seorang cowok, tapi teman-temanku menganggapku
layaknya seorang cewek karena pribadiku yang kemayu. Aku ngondek. Aku tidak
diterima di lingkunganku aku sering jadi bahan tertawaan, cemoohan, bahkan
hinaan. Aku sering di bully di sekolah karena keadaanku ini. Aku bahkan tidak
mempunyai kawan karena mereka enggan berteman denganku, mereka malu berteman
dengan banci sepertiku. Dan yang mau menerima keadaanku adalah cewek. Ya
sebagian besar temanku adalah cewek semua, karena aku tidak punya pilihan,
merekalah yang mau menerimaku sebagai temannya, merekalah yang mau menganggapku
ada dan merekalah yang mau menghargaiku.
Aku beda dengan cowok-cowok yang lain,
disaat semua cowok menyukai permainan sepak bola aku lebih suka bermain boneka,
disaat cowok-cowok suka berenang aku lebih suka bermain karet bersama
teman-teman cewekku. Aku tidak tau apa yang terjadi pada diriku, aku lebih
feminim dari yang lain, aku lebih lemah dibandingkan dengan cowok-cowok yang
lain. Bahkan aku sempat berfikir untuk berubah, aku ingin menjadi cowok seutuhnya,
aku pernah mencoba hal-hal yang disukai oleh cowok, contohnya permainan sepak
bola, namun semua itu sia-sia, aku bahkan di bully habis-habisan oleh
teman-teman cowokku, mereka menertawaiku, mereka menertawai gaya berlariku,
karena gaya berlariku persis sama seperti cewek. Dan aku juga malu pada saat
guru agama memberikan materi tentang laki-laki tidak boleh menyerupai perempuan.
“Nah dari HR. Al-Bukhari, bahwa
Rasulullah S.A.W, melaknat laki-laki menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki” kata guru yang sedang asyik menerangkan di depan.
“Dengar itu mel” kata hendra yang duduk di belakangku.
Hendra mengatakan itu tidak dengan
suara yang pelan, namun ia mengatakan itu dengan suara yang bisa didengar oleh
seisi kelas. Dan sontak seisi kelas tertawa, aku tertunduk lesu menahan malu,
namun aku selalu ingat kata-kata nenek. “kalau seseorang menertawakanmu, maka
diamlah biar tuhan yang membalasnya.” Aku sudah biasa dengan hinaan seperti
itu, bahkan hinaan itu selalu ku dengar hampir tiap hari, dan aku hanya bisa
diam. Karena aku tidak ingin bermasalah disekolah, aku tidak ingin dikeluarkan
dari sekolah.
Walaupun pribadiku seperti ini, tapi
aku selalu dekat dengan tuhan. Aku tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu.
Aku bahkan pintar mengaji, aku pernah menjadi juara dalam berbagai lomba MTQ di
desaku. Aku pernah mendapatkan juara pertama tingkat provinsi untuk cabang
tilawah tingkat remaja, aku bangga dengan prestasiku. Namun tidak dengan kedua
orang tuaku mereka bahkan tak pernah menggap aku sebagai anaknya, mereka selalu
membangga-banggakan adik perempuanku andini, ia sangat pintar bahkan ia selalu
jadi juara kelas di sekolahnya. Dan orang tuaku menghargai prestasinya itu,
mereka selalu memberikan hadiah disaat andini mendapatkan rangking pertama,
beda halnya denganku, prestasiku tak pernah ditanya oleh orang tuaku, akupun
tak pernah mendapatkan hadiah dari kedua orang tuaku, disaat ulang tahunpun
mereka tidak pernah merayakannya, sedangkan adikku andini sudah beberapa kali
merayakan ulang tahunnya dan aku sangat iri padanya.
Hanya nenekku yang selalu bangga
denganku, ia bahkan selalu hadir disaat aku mengikuti berbagai ajang lomba,
jangan tanya orang tuaku, mereka enggan untuk hadir. Aku tak tahu apakah mereka malu punya anak
sepertiku, apakah mereka malu punya anak bencong seperti diriku. Seandainya aku
dapat memilih, aku tidak mau dilahirkan seperti ini, aku ingin dilahirkan
seperti cowok-cowok pada umumnya.
Dulu waktu aku masih duduk di sekolah
dasar. Aku pernah dipukuli pake ikat pinggang oleh ayahku, karena pada saat
itu, aku bermain boneka dengan teman-teman cewekku. Ayahku lalu menarik
tanganku secara paksa, dan membawaku pulang, sesampainya dirumah aku dipukuli
habis-habisan, beberapa kali aku meringis kesakitan dan memohon ampun, namun
ayahku enggan untuk berhenti, ia sedang bernafsu untuk terus memukuliku.
Aktivitasnya terhenti di saat nenek melerainya. Nenek memarahi ayahku, hingga
ayahku pun menghentikan aktivitasnya. Dan pada saat itu nenek memeriksa
punggungku, punggungku nyaris merah semua dan terasa sakit bila disentuh. Kemudian nenek menangis sambil memelukku, pada saat itu aku
mulai takut pada ayah. Dan satu-satunya tempat aku mengadu bila dimarahi oleh
ayah adalah nenekku, karena neneklah yang mau berpihak padaku.
Dan pada suatu hari saat aku hampir
lulus sekolah dasar, nenek meninggal dunia, ia meninggalkanku untuk selamanya,
dan pada saat itu aku sangat sedih sekali, aku merasa tidak akan ada lagi orang
yang akan melindungiku pada saat ayah memukuliku, tidak akan ada lagi orang
yang akan melindungiku pada saat ibu mengomeliku. Aku bahkan tidak punya tempat
untuk mengadu lagi pada saat aku di bully oleh teman-temanku di sekolah. Bahkan
aku hanya bisa pasrah dengan hidupku kedepan.
4 tahun berlalu hingga sekarang aku
tengah duduk di sekolah menengah atas. Aku masih saja di bully oleh
teman-temanku. Bahkan aku tidak pernah mendapatkan kebahagiaan di bangku
sekolah, aku tidak bisa merasakan indahnya masa sekolah seperti layaknya remaja
rasakan. Pernah pada saat mata pelajaran geografi, aku disuruh presentasi
kedepan, dan guru geografi itu mengomentari gaya bicaraku.
“kamu jangan seperti cewek, Jadi cowok
harus tegas!” ujar guru geografi.
Pada saat itu hatiku teriris, aku
sedih, aku sadar dengan kondisiku, namun tidak bisakah guru tersebut
mengucapkan kalimat yang lebih lembut lagi. Supaya aku tidak terlalu sakit
mendengar kalimatnya. Pada saat itu aku mulai merasakan bahwa hidupku sendiri,
tak punya kawan, tak ada yang membela bahkan tak ada yang mau melindungiku.
Di dalam keluarga aku hanyalah dianggap
sampah yang tidak berguna, dan satu-satunya orang yang yang masih sayang padaku
adalah adikku andini. Ia masih menghargai aku sebagai kakaknya, waktu masih
kecil pada saat aku dipukuli ayah ia selalu menangis saat melihatnya, ia tak
tega melihat kakaknya dipukuli seperti binatang. Pada saat itu ia masih berumur
7 tahun. Ia sempat mengatakan pada ayah supaya ayah tidak memukuliku lagi.
“Ayah...... jangan pukuli kak melki
lagi ya?” ujarnya pada ayah.
Namun ayah selalu menjawab bahwa aku
pantas untuk menerima semua itu.
“Kakakmu pantas mendapatkan semua itu.
Biar dia kapok. Biar dia gak main boneka-bonekaan lagi. Biar dia sadar bahwa
dia adalah cowok.”
***
Seperti biasa hari ini aku berangkat
sekolah dengan menggunakan angkot. Ayah enggan mengantarkanku dengan mobilnya
yang mewah, ayah hanya mau mengantarkan andini anak kesayangannya. Sedangkan
aku disuruhnya untuk menggunakan jasa angkot, aku sudah faham dengan jalan
pikiran ayah, mungkin ia malu buat mengantarkanku. Ia malu mempunyai anak bencong
sepertiku, ntahlah tapi itu memang kenyataannya.
Aku berjalan menyusuri koridor ingin
menuju kelas, namun aku dicegah oleh beberapa teman cowokku. Hendra dan
kawan-kawannya. Ya mereka memang sering menggangguku, aku sudah biasa dengan
mereka. Mereka sering membully ku tapi aku selalu sabar, aku tidak pernah mau
melawan, karena aku tidak ingin mau bermasalah di sekolah. Sekarang mereka
menyeret ku menuju toilet, entah apa yang mau mereka perbuat. Aku hanya bisa
diam dengan apa yang diperbuatnya aku tidak mampu melawan karena tanganku
dipegang oleh kedua temannya, dan tenaga ku tidak cukup kuat untuk melawan.
Sekarang mereka melepas semua bajuku, hingga meninggalkan celana boxer ku saja.
Mereka tertawa lepas bahkan mereka terlihat senang dengan apa yang telah mereka
perbuat terhadapku, setelah itu mereka pergi dengan membawa semua bajuku. Aku
hanya bisa duduk dan menangis, mengingat apa yang telah mereka perbuat
terhadapku, mereka bahkan tidak punya perasaan kasihan terhadapku.
Sekarang aku hanya bisa duduk di toilet,
menunggu semua siswa pulang, dan baru aku bisa pergi dari toilet ini, entah
sudah beberapa lama aku berada disini, yang jelas aku sudah sangat lapar,
karena dari tadi aku belum sempat makan. Ku dengar bel pulang berbunyi,
kupastikan tidak ada orang lagi berada disekolah, setelah itu akupun keluar dan
pulang dalam keadaan memakai celana boxer saja. aku pulang dengan perasaan
sedih, aku hanya bisa menteskan air mataku. Aku sempat di bilang orang-orang
gila karena karena keadaanku yang hanya mengenakan boxer saja.
Sesampainya aku dirumah, aku berlari
menuju kamarku, dan kebetulan kedua orang tuaku sedang tidak ada dirumah, aku
beruntung karena kalau aku ketahuan dengan ayah atau ibu pasti aku akan
dipukuli habis-habisan karena melihat kondisi ku yang seperti ini.
***
Hari ini adikku andini ulang tahun,
ulang tahunnya yang ke empat belas, aku berniat untuk membelikannya sebuah
hadiah. Aku membelikannya dari hasil tabunganku sendiri, karena kalau aku minta
pada ayah ataupun ibu pasti mereka tak pernah mau memberikannya. Aku pecahkan
calengan yang bergambar ayam itu dan alhasil tabunganku cukup banyak. Cukup
untuk membelikan sebuah hadiah yang disukai oleh andini. Ya andini menyukai
boneka, apa lagi boneka itu besar, aku berniat untuk membelikannya sebuah
boneka besar. Aku berharap ia akan senang dengan pemberian hadiahku. Jangan
tanyakan aku. Aku memang suka boneka, namun semenjak ayah memarahiku waktu aku
kecil dulu, aku sudah lama meninggalkan kebiasaanku bermain boneka, bahkan aku
tak pernah menyentuhnya, aku takut ayah akan marah.
Aku sedang memilih boneka yang disukai
oleh adikku, adikku suka dengan boneka beruang yang berwarna pink, sekian lama
aku melihat-lihat akhirnya aku menemukannya. Boneka yang sangat besar, bahkan
aku harus memeluknya pada saat aku membawanya. Dan ternyata harganya cukup
dengan hasil tabunganku. Kemudian aku membayarnya dan membawa boneka itu
pulang, dan tak lupa aku selip sebuah kertas yang bertuliskan “happy birthday
adikku tersayang”.
Sesampainya dirumah dan ternyata orang
tua ku sedang membahas tentang persiapan ulang tahun buat adikku nanti malam.
Mereka kaget melihat aku membawa sebuah boneka yang sangat besar. Lalu pada
saat itu aku menyadari bahwa ayah dan ibuku sedang memelototiku dan aku tahu tatapan itu
adalah tatapan marah.
“Lihat pa si melki, dia mulai lagi main
boneka!!!” kata mamaku yang mulai marah.
Lalu ayahku langsung memarahiku, ayahku
memukuliku lagi dengan ikat pinggangnya, ayahku membuang boneka itu keluar, ayahku
bahkan tidak memberikan kesempatanku untuk berbicara, ayahku memukuliku sekeras
mungkin, hingga punggungku, tanganku, dan kakiku semuanya merah. Bahkan aku
sempat meminta ampun tapi ayahku enggan untuk berhenti hingga ia mengusirku
dari rumah.
“pergi kamu dari rumah ini, aku tidak
sudi punya anak sepertimu!!!”
Pada saat itu aku pergi dengan perasaan
yang amat sangat sedih, aku tak tahu harus kemana, aku tak tahu kemana aku
harus mengadu. Aku tak tahu kemana tempat aku berteduh, aku tak tahu kemana
malam nanti aku harus tidur.
***
Andini sedang merayakan ulang tahunnya,
terlihat banyak sekali para undangan yang datang, andini terlihat senang
sekali, namun ia teringat sama kakaknya. Kakaknya tidak pernah menampakkan
dirinya dari tadi. Ya andini memang tidak tahu kalau kakaknya sudah di usir
oleh ayahnya, karena pada saat itu andini lagi main kerumah temannya. Lalu andini menanyakan perihal kakaknya pada
ayah.
“Ayah, ibu, Kak melki mana?” tanya
andini
Terlihat kebimbangan pada ayah dan
ibunya untuk memberitahukan pada andini bahwa kakaknya telah di usir.
“kakakmu udah di usir dari rumah,
karena dia masih saja bermain boneka” kata ayahku.
“Ayah kok tega mengusir kak melki,
bagaimanapun dia, mau dia bencong, banci, atau apalah tapi dia tetap kakak
andini, anaknya ayah dan ibu!!.” Kata
andini
pada saat itu tidak sengaja andini
melihatku yang sedang bersembunyi di pagar taman, karena aku tidak ingin
melewatkan hari bahagianya, aku ingin melihat adikku merayakan hari ulang
tahunnya, karena takut ketahuan oleh ayah maka aku hanya dapat melihatnya lewat
pagar taman.
“Kak melki!!!!” teriaknya.
Akupun berlari keluar karena aku takut
ayah akan mengetahuinya, aku takut ayah akan memukuliku lagi, andini terus saja
mangejarku hingga, ia tidak sadar bahwa ada mobil yang sedang lewat dengan
kencang hingga ia tertabrak dan nyaris membuat ia tak sadarkan diri. Aku
mencoba menyadarkannya tapi ia tidak kunjung bangun, hingga akhirnya ibu dan
ayah membawanya kerumah sakit.
“awas kalau terjadi apa-apa sama
andini, kamu akan menyesal seumur hidupmu” kata ayah terhadapku.
Lalu merekapun pergi dan meninggalkan
ku sendiri ditempat ini. aku bahkan tak diajak untuk membawa andini kerumah
sakit. Hingga diam-diam aku pergi ke rumah sakit sendiri. Dan akhirnya aku
sampai dirumah sakit tempat andini dirawat, aku tidak berani untuk masuk ke
kamar andini, aku hanya bisa melihatnya dari balik jendela. Ia baru saja keluar
dari kamar ICU, dan aku lihat perban di kening hingga matanya. Aku sempat
bertanya pada dokter yang merawatnya, apa yang terjadi dengan matanya dan
dokter mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bisa melihat lagi, kecelakaan itu
telah membuat ia kehilangan penglihatannya. Aku sempat syock mendengar hal itu,
aku tak tahu apa yang harus ku lakukan.
***
Hari ini aku akan di operasi, aku akan
mendonorkan kedua bola mataku terhadap andini, karena aku tak tega melihat
adikku tak dapat melihat indahnya dunia. sebelum operasi ku dimulai, aku
menulis sebuah surat untuk adikku dan kedua orangtua ku, karena aku akan pergi
setelah operasi ini, aku tidak akan menemui mereka lagi karena aku tahu ayah
dan ibu tak pernah menyukaiku. Setelah surat ini selesai ku tulis, aku
memberikannya pada dokter untuk diberikan pada andini setelah tiga hari pasca
operasi, tentunya setelah aku diizinkan keluar dari rumah sakit ini. Dan dokter
sudah berjanji terhadapku, bahwa ia tidak akan memberitahu siapa yang akan
mendonor matanya untuk andini.
Tiga hari telah berlalu, hingga andini
sudah dapat melihat, ia bahkan terlihat sangat senang, kata dokter ia ingin
bertemu dengan si pendonor matanya namun aku menolaknya, aku tidak ingin ia
tahu bahwa akulah si pendonor itu. Hingga aku diizinkan untuk keluar dari rumah
sakit ini, karena kondisiku sudah cukup membaik pasca operasi, namun tidak
dengan mataku, semuanya terasa gelap, aku bahkan tidak hapal dengan jalan keluar
rumah sakit, karena tak ada seorangpun yang mau membantuku, aku hanya diberikan
tongkat sebagai alat untuk membantuku. aku tak tahu telah sampai dimana aku
berjalan, aku hanya bisa mendengar suara klakson mobil yang terus bersuara dari
arah yang berlawanan, dan akhirnya
tubuhku terasa melayang, aku bagaikan dihantam oleh benda yang sangat kuat, dan
nyaris membuat aku tak sadarkan diri.
***
Sesuai dengan janjinya dokter
memberikan surat yang aku tulis setelah aku keluar dari rumah sakit itu.
“Seorang pendonor tidak mau bertemu
denganmu, namun ia menitipkan sebuah surat untukmu” kata dokter yang
merawatnya.
Untuk adikku tersayang:
“gimana dek? Pasti sekarang kamu sudah sembuh ya? Pastinya
dong? Anggap aja itu adalah pengganti kado ulang tahun yang pernah dibuang
ayah. Kakak udah beli kamu hadiah, tapi ayah membuangnya karena ayah mengira
boneka itu milik kakak. Dan sekarang adek gak perlu sedih lagi melihat kakak di
pukul ayah, karena kakak akan pergi, kalau bisa kakak ingin menyusul nenek.
Ma’af kakak tidak bisa menjagamu seperti layaknya kakak yang menjaga adiknya.
Kamu jaga hadiah dari kakak jangan sampai rusak ya?”
Untuk ayahku:
“gmana yah? Ayah bisa tenang kan sekarang? Melki harap bisa,
kan melki udah pergi, tidak akan ada lagi anak yang bikin ayah marah, tidak
akan ada lagi anak yang bikin ayah malu, ayah tidak perlu capek lagi memukul
melki. Suatu saat melki akan kangen dengan ikat pinggang yang pernah ayah pakai
untuk memukul melki. Ayah... apakah ayah tahu melki ingin seperti anak yang
lain yang selalu diantar oleh ayahnya ke sekolah, tapi ayah malu membawa melki
dengan mobil mewah ayah itu, bahkan melki tidak pernah merasakan betapa enaknya
naik mobil mewah ayah.”
Untuk ibuku tersayang:
“bu.... melki akan selalu kangen dengan omelan ibu, melki
akan selalu kangen dengan masakan ibu. Bahkan melki akan selalu kangen dengan
tempe goreng yang pernah ibu masak untuk melki. Melki bahkan tidak pernah
merasakan enaknya ayam goreng masakan ibu. Ibu tahu ayam goreng adalah makanan
kesukaan melki, namun tiap hari ibu masak tempe goreng untuk melki, hingga
tempe goreng menjadi makanan favorite melki. Ibu enggan memasak ayam goreng
untuk melki. Ibu hanya membuat secukupnya untuk ayah dan juga andini. Bu... apa
ibu tahu aku ingin mencium tangan ibu pada saat hendak pergi ke sekolah. Tapi
ibu tak pernah mau di pegang olehku. Aku sedih bu”
Andai kalian tahu bahwa aku tidak pernah membenci kalian
semua, aku selalu sayang sama kalian semua. Aku hanya bisa menangis setiap
malam dikamarku karena perlakuan kalian terhadapku. apa kalian tahu aku selalu
di bully disekolah bahkan tak seorangpun yang mau berpihak padaku. Kini aku
akan pergi jauh kalau bisa aku ingin menyusul nenek. Karena neneklah yang mau
berpihak padaku.
Melki Saputra
Pada saat itu mereka mulai mencari
melki, namun yang mereka temukan adalah jasad melki yang sudah berada dirumah
sakit. Mereka bahkan sangat menyesal dengan apa yang telah mereka lakukan
terhadap melki selama ini. dan sekarang melki sudah pergi dengan tenang, ia
tidak akan pernah merasakan sakitnya dipukuli oleh ayahnya, ia tidak akan
pernah lagi diomeli oleh ibunya, dan ia tidak akan pernah lagi merasakan
bagaimana rasanya di bulli oleh teman-temannya. Dan melki sekarang sudah tenang
berada di pangkuan neneknya disurga dan sekarang melki hanya tinggal sebuah
kenangan.
“Tuhan
aku ingin merasakan kebahagiaan itu walaupun hanya beberapa menit saja, tapi
kenapa engkau enggan memberikannya untukku”
SELESAI